Jasa Logistik Wajib Sertifikasi Halal: Jika Pelaku Usaha Truk Petikemas Mogok, Bisa Gawat, Pemerintah Perlu Cepat Merespon!

Sugiyanto-Pelaku Usaha Logistik di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Penolakan dari pelaku usaha jasa logistik, terutama pengangkut petikemas, dapat dipahami. Mereka merasa kebijakan ini hanya menambah beban dan menciptakan birokrasi yang tidak perlu. 

Oleh : Sugiyanto 
Penulis adalah Pelaku Usaha Logistik di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Kemarin, Jumat, 4 Oktober 2024, saya menerima sebuah brosur lewat WhatsApp (WA) Messenger berupa himbauan tentang penolakan terhadap sertifikasi halal di sektor logistik dan ancaman mogok yang dilontarkan oleh para pelaku usaha truk petikemas.

Mengutip dari media online Ocean Week pada hari yang sama, terdapat judul berita “Tarigan: Ancam Mogok, Sertifikasi Halal Truk ‘Ngaco.’” Dalam berita tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, menyampaikan secara tegas penolakan terhadap kebijakan sertifikasi halal jasa angkutan barang.

Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan yang mewajibkan jasa logistik untuk memiliki sertifikasi halal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021. Tujuannya adalah memastikan bahwa seluruh proses terkait produk halal, mulai dari produksi hingga distribusi, memenuhi standar kehalalan sesuai dengan syariat Islam.

Namun, kebijakan ini memicu pro dan kontra, khususnya di kalangan pengusaha jasa logistik. Mereka merasa aturan tersebut tidak relevan dengan sektor yang lebih fokus pada distribusi teknis daripada produksi langsung.

Banyak pengusaha logistik, terutama yang bergerak di bidang pengangkutan petikemas, menilai kebijakan ini sebagai beban yang berlebihan dan berpotensi merugikan. Setidaknya ada tiga alasan utama di balik penolakan mereka.

Pertama, Jasa logistik hanya bertanggung jawab atas transportasi dan penyimpanan barang, bukan produksi. Produk yang sudah disertifikasi halal oleh produsen sudah terjamin kehalalannya. Tugas penyedia jasa logistik adalah memastikan proses distribusi tidak mencemari status halal produk tersebut. 


Kedua, kebijakan ini berpotensi menambah beban biaya bagi pengusaha logistik untuk memenuhi syarat sertifikasi halal. Hal ini dapat meningkatkan biaya operasional dan pada akhirnya dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga layanan.

Ketiga, sertifikasi halal untuk jasa logistik dinilai menambah birokrasi yang tidak perlu, terutama karena mayoritas layanan logistik tidak melibatkan aspek yang mempengaruhi kehalalan produk.

Apakah Pengusaha Truk Petikemas Wajib Sertifikasi Halal?

Setelah menganalisis lebih dalam, saya berpendapat bahwa tidak semua jasa logistik diwajibkan memiliki sertifikasi halal, termasuk truk petikemas. 

Berdasarkan Undang-Undang JPH, kewajiban sertifikasi halal berlaku untuk jasa yang terkait langsung dengan produk makanan, minuman, obat, kosmetik, dan produk lain yang dikonsumsi masyarakat.

Jasa logistik yang tidak berkaitan dengan produk-produk tersebut, seperti pengangkutan petikemas, tidak seharusnya diwajibkan memiliki sertifikasi halal. Jika produk sudah memiliki sertifikat halal, maka tidak perlu ada sertifikasi terpisah untuk jasa logistik yang hanya bertanggung jawab atas distribusinya. 

Jika pendapat saya ini keliru atau tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai kewajiban sertifikasi halal untuk jasa logistik, maka demi tercapainya kesamaan pemahaman atas aturan ini, penting bagi pemerintah untuk menyediakan forum dialog, terutama dengan para pelaku usaha petikemas.

Penolakan dari pelaku usaha jasa logistik, terutama pengangkut petikemas, dapat dipahami. Mereka merasa kebijakan ini hanya menambah beban dan menciptakan birokrasi yang tidak perlu. 

Wajar jika kebijakan ini dianggap ‘ngaco’ oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, pemerintah perlu merespon masalah ini dengan bijaksana dan cepat, sebelum terjadi mogok yang bisa berdampak besar pada sektor logistik dan perekonomian.

 

The End.